A. Keutamaan Wudlu1. Allah ta'ala mencintai orang-orang yang bersih, sebagaimana
firman Allah :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Seungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersih (Al-Baqoroh :222)
2. Sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat wudlu yang nampak
pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ
“Sesungguhnya
umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah,
tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu” (Riwayat Bukhori
dan Muslim)
3. Wudlu dapat menghapuskan
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ, خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ, حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارِهِ
"Barang siapa yang berwudlu lalu
membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-kesalahannya dari badannya
bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya". (Hadits riwayat Muslim no
245)
4. Wudlu bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلآ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُوْ اللهُ
بِهِ الْخَطَايَا, وَيَرْفَغُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوْا : بَلَى يَا
رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوْءَ عَلَى الْمَكَارِهِ
وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةَ بَعْدَ
الصَّلاَةِ...
“Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang
dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat
derajat-derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rosulullah”, Beliau
berkata : “Sempurnakanlah wudlu pada saat keadaan-keadaan yang dibenci
(misalnya pada waktu musim dingin-pent) dan perbanyaklah langkah menuju
masjid-masjid dan setelah sholat tunggulah sholat berikutnya …”.(Hadits
riwayat Muslim no 251)
5. Dengan wudlu
seseorang bisa masuk surga dari pintu-pintu
surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ
فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ
يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari
kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ kecuali akan dibukakan
baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana
saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
B. Hikmah Disyari’atkannya WudluInti
dan ruh dari sholat adalah seorang hamba harus sadar bahwa dia sedang
berada di hadapan Allah ta'ala. Agar pikiran bisa siap untuk itu dan
bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudlu
sebelum sholat karena wudlu adalah sarana untuk menenangkan dan
meredakan pikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap
melaksanakan sholat.Karena seseorang yang pikirannya sibuk
dengan pekerjaan-pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika
kita katakan padanya “sholatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat
untuk melaksanakannya. Disinilah (nampak jelas) hikmah wudlu karena
membantu seseorang meninggalkan pikirannya yang sibuk dengan
urusan-urusan duniawi, serta wudlu memberikan waktu yang cukup untuk
memulai pikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu sholat). (Taudlihul
ahkam 1/155)
C. Definisi WudluSecara
bahasa wudlu diambil dari kata الْوَضَائَةُ
yang maknanya adalah
النَّظَافَةُ (kebersihan) dan الْحُسْنُ (baik) (Syarhul Mumti' 1/148)
Sedangkan
secara syar'i (terminologi) adalah "Menggunakan air yang thohur (suci
dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua
tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut
syari'at" (Al-fiqh al-Islami 1/208)
D. Sifat Wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ta'ala berfirman :
يأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إذَا قُمْتْمْ
إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْديَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى
الِكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman jika kalian
berdiri untuk (mendirikan) sholat maka cucilah wajah-wajah kalian dan
tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepala
kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki. (Al-Maidah
: 6)
Hadits Rosulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ
عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ سَأَلَ
عَبْدَ اللهِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ وُضُوْءِ النَّبِيِّ ، فَدَعَا بِتَوْرٍ
مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوْءَ النَّبِيِّ . فَأَكْفَأَ عَلَى
يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ
يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَمَضْمَضَ و اسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا
بثَلاَثِ غُرْفَاتٍ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَغَسَلَ
وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ
إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَمَسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ
فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ
رِجْلَيْهِ.
وَ فِيْ رِوَايَةٍ : بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ
حَتَّى ذهَبَ بِهِمَا إِلَي قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى
الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.
Dari Amr bin Yahya
Al-Maziniyyi dari bapaknya berkata : "Aku telah menyaksikan 'Amr bin
Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudlunya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abdullah bin Zaid meminta tempayan
kecil yang berisikaan air lalu dia berwdlu sebagaimana wudlunya Nabi.
Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada
kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian
beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur-kumur
dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan
menghirupnya-pent) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam
lubang hidung-pent) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian
beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya
tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua
tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau
memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu
kali. Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain :
Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian
tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke
tempat dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1.Berniat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat
adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid'ah. Dan niat
adalah syarat wudlu (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga
barang siapa yang berwudlu dengan niat bukan untuk bertaqorrub kepada
Allah ta'ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka
wudlunya tidak sah, karena Rosululah r bersabda "Sesungguhnya
amalan-amalan itu tergantung niatnya". Namun Menurut madzhab Hanafiyah,
hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk juga ketika akan wudlu)
adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berwudlu tanpa niat bertaqorrub
pun sudah sah wudlunya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama.
(Al-fiqh al-islami 1/225)
2.Membaca "Bismilah"
Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Huroiroh:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
"Tidak
ada sholat bagi orang yang tidak berwudlu dan tidak ada wudlu bagi
orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya". (Hadits Hasan, berkata
Syaikh Al-Albani : "…Hadits ini memiliki syawahid yang banyak…", lihat
irwaul golil no 81)
Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa
membaca "bismillah" adalah syarat sah wudlu. Namun yang benar bahwa yang
dinafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan wudlu.
Terjadi
khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan
wajibnya mengucapkan "bismilah" ketika akan berwudlu Mereka berdalil
dengan hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam
Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa
membaca "bismillah" ketika akan berwudlu hukumnya hanyalah mustahab,
tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193). Dalil mereka :
- Perkataan Imam Ahmad sendiri : "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini"
- Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan "bismillah" (syarhul mumti' 1/130)
Syaikh
Al-Albani berkata : "…Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari
dhohir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke
pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah
tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq,
satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipilih
oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan inilah (pendapat) yang benar Insya
Allah" (Tamamul Minnah hal 89)
Dan ada juga hadits yang lain yaitu :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : طَلَبَ بَعْضُ
أَصْحَاب النَّبِيِّ وُضُوْءً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : هَلْ مَعَ أَحَدٍ
مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيْ الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ :
تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِ اللهِ, فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ
أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ . قَالَ ثَابِتٌ :
قُلْتُ لأَنَسٍ : كَمْ تَرأهُمْ ؟ قَالَ : نَحْوٌ مِنْ سَبْعِيْنَ
Dari
Anas berkata : Sebagian sahabat Nabi mencari air, maka Rosulullah
berkata : “Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi
meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata :“Berwudlulah
(dengan membaca) bismillah”.. Maka aku melihat air keluar dari sela-sela
jari-jari tangan beliau hingga para sahabat seluruhnya berwudlu hingga
yang paling akhir daari mereka. Berkata Tsabit :”Aku bertanya kepada
Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat ?, Beliau berkata : Sekitar
tujuh puluh orang”. (Hadits riwayat Bukhori no 69 dan Muslim no 2279).
Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillah karena Rosulullah menggunakan fiil amr (kata kerja perintah).
Kalau
memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya
ketika akan berwudlu dan dia baru ingat di tengah dia berwudlu atau
bagaimana jika dia baru ingat setelah berwudlu. Jawabnya :
Jika
dia ingat di tengah berwudlu, maka dia tidak perlu mengulangi wudlunya
tapi terus melanjutkan wudlunya karena membaca "bismillah" bukan
merupakan syarat wudlu. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai
berwudlu maka wudlunya sah, karena Allah tidak membebani apa yang tidak
disanggupi oleh umatnya.
3.Mencuci tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan
Berkata Syaikh Ali Bassam : "Disunnahkan
mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan sebelum
memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudlu, dan ini
merupakan sunnah menurut ijma'. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan
hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua
tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur'an). Dan sekedar perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidaklah menunjukan akan wajib,
hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qoidah usuliah".
(Taudihul Ahkam 1/161).
4.Berkumur-kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq
Khilaf diantara para Ulama :
Imam
yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i) dan Sufyan
At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan
beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر
من سنن المرسلين (sepuluh dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu
beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini
sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah
"toriqoh" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika
dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa),
karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad
berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga
pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka :
- Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak
pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya
sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
- Allah ta'ala
berfirman (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung
termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta'ala.
- Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
"Barangsiapa yang berwudlu hendaklah dia beristinsyaq"
Dan
juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits
Laqith bin Sobroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
"Jika engkau berwudlu maka berkumur-kumurlah" (Taudihul ahkam 1/173)
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)
5.Mencuci wajah
Hukumnya
adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar'i tidak dijelaskan oleh
Syari'at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa.
Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling
berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut
kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke
telinga (secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عُثْمَانَ t قّالَ : إِنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِيْ الْوُضُوْءِ
Dari
Utsman berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyela-nyela jenggotnya ketika berwudlu. (Hadits shohih, riwayat
Tirmidzi)
Dan juga hadits Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا
تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ
فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِيْ رَبِّي عَزَّ وَ
جَلَّ
Bahwasanya Nabi jika berwudlu beliau mengambil
segenggam air (dengan tangannya-pent) lalu beliau memasukkannya di bawah
mulutnya kemudian beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan beliau
berkata :"Demikianlah Robku عَزَّ وَ جَلَّ memerintah aku". (Irwaul
golil no 92)
Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
- Jika jenggot tersebut tipis sehingga
kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot
hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal
jenggot.
- Jika jenggot tersebut tebal sehingga
tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian
dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak
wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun
bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan perpanjangan
wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti' 1/140 )
6.Mencuci kedua tangan
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman :
وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku
Sebab
إِلَى menurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik
untuk waktu maupun tempat. Misalnya untuk waktu ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى الليْلِ (Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam) dan
untuk tempat misalnya مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأَقْصَى (Dari masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun
yang datang setelah إِلَى maka boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى
(sehingga ketika itu إِلَى bermakna مَعَ sebagaimana firman Allah ta'ala
وَلاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَلِكُمْ ) dan bisa juga
tidak masuk kepada apa yang sebelum إِلَى , dan ini semua diketahui
dengan qorinah (indikasi) (Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam
permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian
dengan adanya qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu.
Diantaranya :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ
Dari
Jabir berkata :"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
berwudlu, beliau memutar air ke kedua sikunya" (Diriwayatkan oleh
Darqutni dengan sanad yang dho'if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam
1/191)
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ
يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ
السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu
Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas
dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata :
"Demikianlah aku melihat Rosulullah berwudlu" (Hadits shohih riwayat
Muslim, Irwaul Golil no 94)
Apakah disunnahkan mencuci
tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis
sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Huroiroh ?
Untuk
masalah ini (memanjangkan daerah wudlu hingga ke lengan atas dan betis
demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para
ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat
bahwa hal ini disunnahkan. Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para
sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata
kaki" Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : سَمِعْت
رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ
أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ
Dari Abu
Huroiroh t berkata : Aku mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : "Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam
keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka
karena bekas wudlu, maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan
gurrohnya dan tahjilnya maka lakukanlah" (Hadits riwayat Bukhori dan
Muslim)
Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak
disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudlu melewati tempat yang
diwajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh
Adurrohman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh
Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182) :
- Seluruh sahabat yang mensifatkan wudlu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya
sampai kedua siku dan kedua mata kaki
- Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudlu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun
perkataan :"Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..", ini
bukanlah perkataan Rosululah r tetapi merupakan mudroj (tambahan
perkataan) dari Abu Huroiroh t. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim
Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : "Aku tidak tahu perkataan
("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya hendaklah dia
melakukannya") merupakan perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau perkataan Abu Huroiroh". Berkata Ibnul Qoyyim :"Tambahan ini
adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t bukan dari perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak
Hafiz". Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no
250) dari Abi Hazim, beliau berkata : "Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan
dia sedang berwudlu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke
ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya :"Wahai Abu Huroiroh, wudlu apa
ini?", maka beliau berkata :"Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?,
Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berwudlu seperti ini.
Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
bersabda : Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya
wudlu". Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudlu yang dilakukan oleh Abu
Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t saja.
- Kalau kita terima
hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini
tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah
saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian
juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang
membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ
(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) wudlunya. (Riwayat Muslim)
Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
7. Membasahi kedua tangan lalu membasuh kepala dan kedua telinga.
Caranya
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap
tidak boleh dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah
menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa
memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika
kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan
perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran
air sedangkan mengusap tidak.(Syarhul Mumti' 1/150)
Dan
disunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga
tiga kali, sebagaimana telah shohih dari Utsman t bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya tiga kali.
(Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat Tamamul Minnah hal 91).
Para
ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah
dan As-Syafi'i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala,
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap
ubun-ubun beliau ketika berwudlu. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam
ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna "sebagian".
Sedangkan Imam
Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena
demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul
Islam berkata : "Tidak dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala"
Berkata Ibnul Qoyyim ;"Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan
membasuh sebagian kepala" (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat
yang rojih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
ubun-ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ t أَنَّ النَّبِيَّ r تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ
Dari
Mugiroh bin Syu'bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudlu' lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan kedua
khufnya. (Riwayat Muslim)
Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap sorbannya
dan pernah hanya mengusap kepalanya dimulai dari ubun-bunnya. (Taudihul
Ahkam 1/187)
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. (Dan semua kemungkinan
ini dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Ar-roudlotun Nadiah)
Sedangkan
makna ب untuk makna tab'id (sebagian) tidak ada dalam bahasa Arab
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin (Syarhul mumti' 1/151)
Mengusap kedua telinga
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فِيْ صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ : ثُمَّ
مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ
أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ
Dari
Abdillah bin 'Amr tentang sifat wudlu, berkata : "Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan memasukkan kedua
jari telunjuknya kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua
telinganya dengan kedua ibu jarinya" (Hadits hasan diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan Nasa'i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul
Ahkam 1/166)
Dan juga hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرَُمَا وَ بَاطِنَهُمَا
"Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan kedua
telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam" (Hadits shohih,
dishohihkan oleh Tirmidzi, Irwaul Golil no 90)
Dan ketika
mengusapnya tidak perlu air yang baru. Berkata Ibnul Qoyyim :"Tidak ada
riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya
beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya".
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengambil air yang baru bukan dari air bekas mengusap
kepalanya adalah dlo'if. Yang shohih yaitu bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk
mencuci) kedua tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
·
Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا
بِرُؤُوْسِكُمْ), dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, 'urf,
mapun syar'i), sebagaimana hadits : الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua
telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan
sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini lemah).
·
Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga
baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah
dilakukan oleh telinga.
8. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri.
Mencuci
kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta'ala
وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata
kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki
hingga (bersama) mata kaki sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini
telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama'ah. Berbeda halnya dengan
Syi'ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak
usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu
:
- Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan
dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala
bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum
kepala (sama-sama diusap).
- Ka'ab yang disebutkan dalam ayat
datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka'ab
untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka'ab dalam ayat bukanlah
mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti' 1/153)
Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
- Qiro'ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro'ah
ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل,
walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam
bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga)
dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala dalam surat
Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ merupakan sifat dari
عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus
Sunnah 1/430)
- Kalaupun qiro'ah yang dikasroh merubah hukum
maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf.
(Syarhul mumti' 1/176)
- Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ فِيْ
سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ،
صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى
أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :" وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ"
Dari Abdullah bin Amr berkata : "Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami
bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami-pent) beliau
mendapati kami - (dan ketika itu) telah datang waktu sholat yaitu sholat
asar- kami sedang berwudlu, maka kami mengusap kaki-kaki kami. Lalu
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan
suaranya yang keras :"Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air
wudlu) dengan api" (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.
- Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu Huroiroh
أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ
العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ :
هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudlu
maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci
kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku
melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu" (Hadits
shohih riwayat Muuslim, irwaul golil no 94)
Dan tidak mungkin
mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap
sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini
bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu
diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan
juga jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
عَنْ
لَقِيْط بْن صَبْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَسْبِغِ
الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ
الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari Laqith bin
Sobroh berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:"Sempurnahkanlah wudlu dan sela-selalah jari-jari dan
bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang
berpuasa" (Hadits shohih, dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun
menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini
hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma'ad
:"…Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata : "Aku melihat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dan dia menggosok jari-jari
kakinya dengan jari tangan kelingkingnya" Kalau riwayat ini benar [1]¨)
maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya
sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh para
sahabat yang memperhatikan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam
riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah." (Syarhul Mumti' 1/143).
9.Membaca doa setelah wudlu
Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ
فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ
يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ
kecuali akan dibukakan baginya
pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang
dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
أللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersih.Sebagian
ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang
benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul
Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudlu :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)
Demikianlan sekilas tentang sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.